Minggu, 14 Oktober 2012

Kebahagiaan Hakiki

Kebahagiaan adalah tujuan setiap manusia di dunia ini. Tetapi, apakah arti kebahagiaan itu? Para filsuf dan penulis banyak membicarakan definisi kebahagiaan. Mereka memiliki pandangan berbeda-beda dalam faktor yang memungkinkan terwujudnya kebahagiaan hakiki. 

Meskipun terdapat perbedaan mengenai definisi kebahagiaan serta faktor penyebabnya, namun terdapat sejumlah prinsip yang tak dapat diperdebatkan:
  1. Kebahagiaan bersifat relatif.  Apa yang dapat membahagiakan seseorang, boleh jadi tidak dapat membahagiakan orang lain, bahkan mungkin menyebabkannya menderita.
  2. Secara umum manusia meyakini bahwa kehidupan dunia ini terbatas, dan manusia, betapapun nikmat kehidupannya, pasti akan menemui ajal.
Menyikapi prinsip pertama, soal relativitas kebahagiaan, setidaknya dapat dilihat 2 kelompok manusia: 
  1. Kelompok yang meyakini paham materialisme, yang menganggap bahwa harta duniawilah yang dapat mewujudkan kebahagiaan hidup. Bagi mereka, harta dapat mengenyam segala kenikmatan duniawi seperti makanan, tempat tingga, pakaian, dan berbagai perhiasan duniawi lainnya.
  2. Kelompok yang memercayai makna spiritual dari kehidupan dunia itu sendiri. Mereka adalah orang yang mencibir kemewahan duniawi sebagaimana diburu para pengikut materialisme. Kelompok ini menyadari bahwa kehidupan dunia adalah ladang akhirat.
Kelompok pertama menduga harta duniawi dapat memberikan kebahagiaan abadil. Ini terjadi lantaran budak harta tak pernah mengenal rasa puas. Semakin bertambah kekayaannya, maka semakin bertambalah pula kerakusannya dan semakin berambisi menumpuk pundi-pundi harta. Hal ini persis seperti yang dikatakan Rasulullah SAW:
"Seandainya manusia memiliki 2 lembah terbuat dari emas, niscaya ia berharap memiliki yang ketiga. Tiada yang bisa memenuhi perut manusia, kecuali tanah. Allah SWT menerima orang-orang yang bertobat. (HR Bukhari Muslim Tirmidzi Ibnu Majah Darimi Ahmad)"
Seyogianya manusia menghiasi dirinya dengan rasa cukup (qana'ah). Sebab, perasaan tersebut sebagaimana kata orang bijak, adalah "harta yang takkan pernah habis." Karena itu, orang kaya akan selalu hidup dalam kegelisahan, karena khawatir suatu hari kekayaannya akan lenyap. Mereka tak memiliki kepekaan dan cinta sejati terhadap orang-orang sekitarnya. Karena, mereka yakin bahwa orang yang berada di sekitarnnya hanya mengincar hartanya. Su'udzon ini juga mengarah kepada putra-putrinya. Mereka menduga bahwa anaknya mengharap kematiannya, agar bisa mewarisi kekayaan orangtuanya. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda:
"Zuhud terhadap kehidupan dunia dapat menentramkan hati dan jasad."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakanlah Bahasa yang Santun